Minggu, 26 Desember 2010

TEORI JACQUES LACAN

Pesona Hasrat Dalam Psikoanalisis – sturktural Jacques lacan
“Refleksi atas ketegangan antara hasrat memiliki dan hasrat menjadi”

Kenalilah dirimu! Imperative sokratesian tersebut terus membayangi sejarah pemikiran barat sampai sekarang. Tersembunyi dibaliknya adalah iman atas tergeletaknya kodrat didasar kemanusiaan. Pertanyaannya adalah mengapa kita harus mengelupas manusia dan menelanjangi kodratnya.?? Ada tiga alasan, pertama: mengukuhkan subyektifitasnya; kedua: memastikan pengetahuannya tentang dunia; ketiga: memantapkan posisinya di puncak hierarki kemaujudan.
Bertolak dari tiga alasan diatas, pencarian kodrat selalu meminggirkan hasrat dari medan kemanusiaan. Aristoteles menyebutnya sebagai komponen rendah dari jiwa yang harus di control ketat oleh rasio. Plato menuduhnya sebagai gangguan badani yang mencegah kita memalingkan wajah kematahari kebenaran. Sedangkan para teoritikus pengetahuan mencapya sebagai subjektifitas yang harus dilempar dari setiap penjelasan ilmiah.
Klimaks orgasmic dari sejarah pengucilan ini terantuk pada jerit “cogito ergo sum” Descartes, manusia akhirnya dibaptis sebagai subjek yang sadar penuh, rasional dan berjarak. Subyek Cartesian pun menggentayangi akademisi eropa mulai dari teori pengetahuan, moral politik sampai kebudayaan. Namun dominasi ini tidak berlangsung lama, filsuf nietzche mencurigai adanya sesuatu yang lain dibalik subyek Cartesian. Rasionalitas dituduhnya menyimpang hasrat atas penguasaan, bergandengan dengan moral yudeo-kristiani, lebih parah lagi, nietzche menunjukkan dengan jitu tempat persembunyian hasrat yang selama ini disimpan rapi oleh rasionalitas dan moralitas.
Oleh nietzche, pemikiran kritis akhrinya beranjak ketingkat yang terbayangkan sebelumnya. Kritik pun dilancarkan kejantung Cartesian. Namun psikolog akhirnya juga ingin tunjukan taring dengan memberikan guncangan dahsyat terhadap Cartesian yang dipelopori oleh Sigmund freud. Mereka mengatakan bahwa subyek Cartesian menyimpan hasrat libidinal dalam ruang bawah sadarnya, subyek Cartesian yang sadar diri, rasional, dan berjarak bukanlah sesuatu yang terberi, melaingkan muncul kemudian dalam proses perkembangan psikodinamis manusia, ego cogito adalah reaksi atas proses akuilibrasi antara hasrat bawah sadar dan konstrain budaya.
Dilain pihak, pembacaan postmodern atas freud menjanjikan sesuatu, di situ hasrat menperoleh refleksi cukup kuat sebagai potensi subversi atas konstrain cultural. Salah satunya adalah Jacques Lacan, tokoh yang disebut se sesat dari tradisi psikoanalisis ini member sentuhan sosiolinguistik atas hasrat tak sadar, selain itu lacan juga merehabilitasi potensi subversive hasrat tak sadar freud yang lumpuh ditangan freud tua dan pengikut psikologi ego.
Meski demikian, abiguitas tak bias dilepas dari pemikiran kritis laacan. Ambiguitasa ini disebabkan oleh gagasan lacan tentang konstitusi subyek lewat tatanan simbolik. Pra lacanian sayap kiri, seperti Althusser dan Zizek, memiliki tafsir politisnya sendiri-sendiri atas hal itu.

Hasrat Dan Ego
Hasrat sebagai hal yang gagal dijawab oleh tradisi rasionalisme barat yang selalu melakukan pendekatan dengan pelbagai apriori epistemologis yang merendahkan. Akhirnya freud mencoba menelusuri genensis hasrat dari pengalaman badani awal antara bayi dan ibunya. Manusia, menurutnya terlahir premature. Bayi sepenuhnya tergantung atas perawatan sang ibu untuk pemenuhan kebutuhan biologisnya. Pada tarap ini, bayi mengalami sang ibu dalam ruang-waktu imajiner – lepas dari ruang-waktu manusia dewasa. Bayi mengalami ibunya sebagai yang tak terbedakan dengan dirinya. Belum ada pembedaan antara intra dan ekstra tubuhnya dan tubuh sang ibu.
Bayi hidup dalam sebuah dunia bulat sempurna dan selalu memuaskan kebutuhan alaminya untuk preservasi diri. Preservasi diri menurut freud berlanjut pada sesuatu yang melampaui biologism. Kebutuhan nutrisi pada suatu saat menjelma menjadi hasrat seksual. Itu terlihat dalam kenikmatan sang bayi saat menghisap payudara ibunya.
Kebutuhan imajiner bayi/ibu akhirnya retak saat prinsip realitas mendobrak kejantung pertahanan hasrat. Prinsip kenikmatan akhirnya beradapan dengan kenyataan luar.
Pembacaan modern atas freud, meski demikira, luput menelisik lebih jauh relasi hasrat dan ego Freudian. Menyerahnya hasrat atas kendali ego adalah semacan decoy, hasrat tak pernah sungguh-sungguh dikalahkan, ia sekadar mengambil bentuk baru lewat penyingkapan fantasi. Hasrat atas kepuasan serta merta sementara mengalah demi mencapai kepuasan yang lebih tahan lama.
Bahkan formasi ego melibatkan hasrat, kehilangan yang dicintai adalah pengalaman yang menyakitkan, sehingga sebentuk ego mesti dibentuk lewat identifikasi dan inkorporasi. Identifikasi adalah proses dimana individu menginternalisasi atribut orang lain dan mentransformasinya lewat imajinasi tak sadar, identifikasi ini kemudian menjadi bagian dari individu melalui inkorporasi: pengambilan objek – sebagian atau seluruhnya untuk menyusun basis dari ego.
Identifikasi dan inkorporasi berakar dari hasrat untuk memiliki identitas, sesuatu yang goyah setelah lepasnya individu dari yang dicintai. Sebagai mana yang dikatakan freud, dengan mengungsi ke ego, cinta terhindar dari anihilasi, identitas dirajut menjadi kesatuan yang utuh lewat pemungutan dan pengambilalihan bagian tertentu dari objek lewat tindak fantasi. Akibatnya, subyek kartesian yang sadar diri menjadi ilusif, subyek Cartesian adalah bangunan yang dibuat lewat mekanisme tak sadar dari fantasi, imajinasi, dan hasrat. Hal inilah yang membuat pembacaan modrn freud bermasalah, bagaimana ego mengendalikan hasrat, sementara ego tercipta dari hasrat..
Persoalan ini akhrinya diperuncing oleh para Neo Freudian prancis Lacan, salah satu neofreudian garda depan prancis, membongkar kerapuhan ego yang terlalu diagung- agungkan para penganut psikologi ego. Lacan menolak ego sebagai sumber kekuatan psikologis, bahkan menekankan ketergantungan ego pada hasrat-hasrat yang menginfiltrasinya dari medan social. Ego menurutnya tidak mampu membedakan hasratnya dan hasrat orang lain, serta cenderung kehilangan dirinya dalam samudra objek-objek (manusia dan citraan).
Objek identifikasi yang pertama adalah citraan sang anak sebagaimana terpantul dicermin, anak yang sesungguhnya masih fragmentaris, dependen, dan tak terkoordinasi mempersepsi dirinya diceermin sebagai subyek Cartesian yang berkesatuan. Hasrat untuk memiliki identitas mendorong sang anak untuk mempersepsi citraan dicermin sebagai dirinya, ini menurut lacan adalah momen primordial pembentukan ego. Momen yang menurutnya akan terus bekerja dalam rentang hidup manusia. Manusia memiliki deminsi imajiner dalam hidup psikisnya yaitu kecenderungan untuk mengidentifikasi diri dengan diri-diri ideal.
Individu menurut lacan, tidak hanya kehilangan kejernihan atas perbedaannya dengan yang lain, tetapi juga mencampur adukan antara hasratnya dan hasrat orang lain. Dan melalui identifikasi imajiner, dengan orang lain, menghasrati dirinya dengan hasrat yang sama. Sederhananya adalah mencintai orang lain sesungguhnya adalah tindak mental yang narsistik.
Refleksi Lacan ini juga memperkenalkan konsepnya tentang hipothesis mimesis. Menurut hipotesis ini, kendali total ego atas hasrat adalah Ilusi. Manusia adalah mahluk yang tidak tahu apa yang harus dihasrati dan oleh karenanya, berpaling keorang lain untuk menentukan pilihan. Hasrat ini tidak muncul dari imperative ego, melaingkan peniruan hasrat orang lain.
Kesimpulan sementara dari bagian ini adalah administrasi total ego atas hasrat tidaklah benar, ego adalah buatan tangan yang didorong oleh hasrat untuk memiliki identitas, Lacan mengatakan sesuatu tentang ego yang memispersepsi citraan sebagai dirinya. Sebuah pencampuraduan antara yang ideal dan yang factual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar